Kalahkan Ego, Menangkan Tamu: Strategi Jitu Menyelesaikan Konflik Mematikan antara F and B Manager vs Executive Chef

Hospitama
0

 

Mananger versus Chef
Ilustrasi Ketegangan Manager vs Exc.Chef (photo:freepik.com)

HC-Di balik gemerlap lampu restoran hotel, ada drama yang lebih panas dari wajan di dapur: perang dingin antara F&B Manager dan Executive Chef. Dua peran vital ini bagai api dan minyak - saling membutuhkan tapi kerap berseteru. F&B Manager melihat angka, Chef melihat seni. Yang satu bicara profit margin, yang lain bersumpah pada kualitas bahan. Jika dibiarkan, gesekan kecil ini bisa membakar seluruh operasional F&B.

"Menu ini terlalu mahal untuk pasar kita!" protes F&B Manager. "Kalau mau murah, buka warung tenda saja!" balas Chef sambil mengepal sendok. Konflik ini bukan sekadar soal harga, tapi tentang visi, harga diri, dan cara memandang hospitality. Tanpa manajemen yang tepat, dapur berubah jadi medan perang, staf terbelah menjadi dua kubu, dan tamu yang jadi korban - menerima makanan terlambat atau mengalami inkonsistensi kualitas.


Tapi di tangan pemimpin visioner, konflik ini justru jadi berkah. General Manager yang cerdik tak akan memaksa damai, tapi menciptakan arena kolaborasi. "Apa yang membuat Chef bersikeras menggunakan truffle ini?" "Bagaimana F&B bisa menjual experience makanan ini dengan harga premium?" Diskusi berbasis data dan empati sering kali melahirkan solusi win-win yang tak terduga.


Namun bagaimana jika guncangan ini justru semakin runcing? Ketika konflik tak terkelola, bukan hanya menu yang gosong, tapi juga budaya kerja. Suasana jadi tegang, komunikasi dipenuhi sindiran, dan yang paling berbahaya - staf mulai memilih kubu. Beberapa mungkin memihak Chef karena loyalitas pada seni kuliner, sementara yang lain ikut F&B Manager yang dianggap lebih realistis. Budaya kolaborasi yang susah payah dibangun bisa hancur dalam sekejap.


Inilah titik kritis dimana GM harus turun tangan secara strategis. Bukan sekadar menjadi wasit, tapi mengubah krisis menjadi momentum transformasi. Intervensi HRD menjadi kunci - mungkin perlu evaluasi ulang job description, restrukturisasi tim, atau bahkan rotasi posisi untuk memecah kebekuan. Terkadang, pihak ketiga seperti konsultan eksternal bisa memberikan perspektif segar yang tak terlihat oleh tim internal.


HRD punya senjata rahasia untuk merukunkan kedua pihak. Program pertukaran peran - misalnya meminta F&B Manager bekerja di dapur saat dinner rush, atau Chef menghadiri sesi review tamu - bisa menjadi pencerahan bagi kedua belah pihak. Ketika Chef merasakan tekanan penjualan, atau F&B Manager memahami kompleksitas prep makanan, ego pun lumer.


Di hotel-hotel terbaik, ketegangan kreatif ini justru jadi bumbu rahasia. Chef belajar balance antara seni dan komersil, F&B Manager paham nilai diferensiasi kuliner. Hasilnya? Menu inovatif yang memukau lidah tapi tetap menguntungkan. Mereka mungkin tetap debat, tapi sekarang debat produktif yang melahirkan konsep brilian seperti pop-up dinner series atau signature dish yang jadi ikon hotel.


Tapi ingat, ada garis tipis antara ketegangan kreatif dan budaya kerja toxic. Jika konflik sudah mengarah pada sabotase operasional, turnover staff tinggi, atau penurunan kualitas layanan, itu tanda sistem sudah sakit. Di titik ini, GM  atau Owner perlu mengambil keputusan berani - apakah perlu rotasi kepemimpinan, redefinisi struktur organisasi, atau intervensi budaya perusahaan yang lebih mendalam.


Jadi lain kali Anda dengar F&B Manager dan Chef berseteru, jangan buru-buru khawatir. Dengarkan baik-baik - dari guncangan kreatif itulah sering lahir terobosan terbaik. Tantangannya adalah mengubah gesekan menjadi sinergi, dan konflik menjadi kolaborasi. Bukankah masakan terbaik pun lahir dari perpaduan bahan yang saling bertolak belakang? Tapi ketika bumbu konflik terlalu banyak, hidangan jadi tak enak - sama seperti budaya kerja yang terlalu toxic akan merusak seluruh organisasi (*)

#hospitality #konsultanhotel ##horeca

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)