![]() |
Ilustrasi Sales Call activity (photo:pexels.com) |
HC-Dalam dunia sales marketing yang
dinamis, aktivitas seperti sales visit, sales call,
atau sales blitz telah lama menjadi ritual suci. Berbekal
brosur dan senyum terbaik, tim sales menyambangi kantor travel agent,
perusahaan korporat, atau event planner – baik klien lama maupun prospek baru –
untuk menawarkan paket akomodasi, meeting, atau pernikahan. Tujuannya mulia:
membangun relationship, memupuk kedekatan secara personal, dan
akhirnya, mendatangkan booking.
Dari sisi Customer
Relationship Management (CRM), ini memang seperti menyiram benih hubungan,
diharapkan tumbuh menjadi loyalitas yang berbuah revenue berulang. Namun, di
balik secangkir kopi dan jabat tangan hangat, tersembunyi biaya yang tak
sedikit: transportasi, akomodasi (jika ke luar kota), waktu tim, material
promosi, dan tentu saja, opportunity cost. Biaya per kunjungan bisa
sangat "lumayan", terakumulasi menjadi angka yang signifikan di akhir
bulan meskipun semua itu sudah disiapkan dalam suatu budget plan
sebelumnya.Namun ingat bahwa prinsip sederhana dalam suatu bisnis adalah increase
revenue,reduce cost,tanpa menghilangkan esensi kualitas layanan,
Di Tengah Gelombang Pengukuran Algoritmik, Efektivitas
Dipertanyakan
Memasuki era di mana setiap klik, konversi, dan revenue traceable dengan
presisi oleh algoritma, metode tradisional sales call ini mulai mendapat
sorotan kritis. Para revenue manager dan marketing, yang kinerjanya sering
diukur melalui dashboard digital yang real-time, mempertanyakan: Seberapa
besar Return on Investment (ROI) yang nyata dari aktivitas ini?
Biaya
per Acquisition dari sebuah sales call sulit dihitung secara akurat dan
seringkali jauh lebih tinggi dibandingkan saluran digital seperti SEO(Search
Engine Optimization) SEM(Search Engine Marketing, atau email
marketing tertarget. Konversi langsung (direct booking) hasil kunjungan juga
seringkali tidak instan atau sulit dilacak secara langsung ke satu kunjungan
tertentu, membuat klaim keberhasilannya terasa kabur di hadapan algoritma yang
haus data kuantitatif.
"Memecahkan Es Batu": Harapan vs. Realitas
Revenue
Di sinilah sering terjadi kesenjangan persepsi. Banyak pimpinan, mungkin
berasal dari generasi sebelumnya yang sukses dengan pendekatan personal, masih
memegang analogi "memecahkan es batu". Mereka membayangkan satu
kunjungan sales yang brilian bisa langsung "mencairkan" prospek,
menghasilkan penjualan besar seketika. Padahal, realitas di dunia B2B seperti ontoh industri perhotelan, khususnya untuk kontrak korporat atau event besar, jarang
sesederhana itu. Proses pengambilan keputusan biasanya panjang, melibatkan
banyak stakeholder, negosiasi berulang, dan tender.
Sales call hanyalah salah
satu titik sentuh dalam perjalanan pelanggan (customer journey) yang
kompleks. Mengharapkan konversi instan seperti es batu yang mencair hanyalah
ilusi yang bisa membuat anggaran marketing "membeku" pada aktivitas
yang ROI-nya sulit dipertanggungjawabkan secara data.
Mencari Keseimbangan: Sentuhan Manusia dalam Bingkai Data
Algoritma
Lantas, apakah sales call sudah usang? Sama sekali tidak. Nilai
sentuhan manusia, kepercayaan yang dibangun secara tatap muka, dan kemampuan
memahami kebutuhan klien secara mendalam yang diperoleh dari percakapan
langsung, tetap merupakan aset tak ternilai, terutama untuk klien bernilai
tinggi (high-value accounts) atau negosiasi kompleks. CRM modern pun
mengakui pentingnya interaksi offline ini. Tantangannya adalah bagaimana mengintegrasikan kekuatan
hubungan personal ini ke dalam paradigma pengukuran algoritmik yang ketat:
- Presisi
Target Berbasis Data: Gunakan algoritma dan data CRM/analitik
untuk mengidentifikasi prospek mana yang paling berpotensi memberikan
LTV (Lifetime Value) tinggi, sehingga layak dikunjungi. Hindari
"sales blitz" acak yang boros biaya.
- Kuantifikasi
Dampak (Sekalipun Tidak Langsung): Kembangkan metrik untuk
melacak dampak tidak langsung sales call. Misalnya:
peningkatan keterlibatan klien di platform digital setelah kunjungan,
percepatan proses negosiasi, atau peningkatan nilai kontrak jangka panjang
dari klien yang rutin dikunjungi. Kaitkan kunjungan dengan pipeline CRM.
- Hybrid
Approach: Gunakan sales call sebagai puncak gunung es dari
strategi digital. Prospek awal bisa dijangkau via LinkedIn, email
personalisasi, atau webinar. Sales call baru dilakukan saat minat dan
potensi sudah terfilter dan terukur secara digital, meningkatkan
efisiensi.
- Fokus pada Relationship Equity: Akui bahwa nilai sales call seringkali terletak pada membangun "relationship equity" – kepercayaan dan loyalitas yang menghasilkan bisnis berulang dan referensi di masa depan, bukan sekadar satu booking. Ukur metrik seperti retensi klien (seberapa banyak yang terus menggunakan product Anda) dan referral rate untuk klien yang rutin dapat interaksi personal.
Sales call dalam staretegi pemasaran bukan lagi tentang "memecahkan es
batu" dengan palu harapan. Di era algoritma, ia harus berubah fungsi
menjadi seperti "thermometer cerdas". Sentuhan manusia tetap vital -inilah
prinsip dasar bisnis hospitality-untuk
membangun kehangatan hubungan, tetapi frekuensi, target, dan alokasi sumber
dayanya harus diatur secara presisi berdasarkan data dingin dan prediksi
algoritmik. Efektivitasnya tidak lagi diukur hanya oleh booking langsung esok
hari, tetapi oleh kontribusinya terhadap kesehatan hubungan pelanggan jangka
panjang dan nilai klien seumur hidup (LTV) yang dapat dianalisis, dioptimalkan,
dan dipertanggungjawabkan – selaras dengan bahasa bisnis modern yang diucapkan
oleh algoritma.
Maka, senjata utama tim sales masa kini bukan lagi
sekadar presentasi memukau meskipun jago closing, melainkan kemampuan membedah data, memahami
algoritma preferensi klien, dan mengubahnya menjadi strategi hubungan manusia
yang menghasilkan revenue terukur.Revenue yang berkelanjutan lahir dari
kombinasi kecerdasan mesin dan kehangatan manusia, bukan dari salah satunya
saja.(*)